Datangkan Aquarina, Lesbumi NU Pamekasan Bedah Ideologi Keibuan dalam Politik Indonesia

MENGINSPIRASI: Ketua Divisi Sastra Lesbumi NU Pamekasan Royyan memandu jalannya mimbar budaya ke-11 Lesbumi NU Pamekasan. (Ist/PWI Pamekasan)

pwipamekasan.or.id | Aquarina Kharisma Sari dari Lesbumi NU Kota Malang menjadi pembicara mimbar budaya ke 11 Lesbumi Pamekasan, Rabu (20/3/2024) malam.

Kegiatan dilaksanakan di Pondok Pesantren Al Kautsar, Jalan Lawangan Daya Tebana Pamekasan Madura.

Rina, sapaan akrabnya, diundang oleh Lesbumi NU Pamekasan. Ia mengusung tema ideologi keibuan dalam politik Indonesia dalam mimbar budaya kali ini.

Mimbar budaya ini dihadiri puluhan anak muda Pamekasan, baik pria maupun wanita. Mereka antusias mengikuti jalannya mimbar dengan pemateri dari Kota Malang tersebut.

Ketua Lesbumi NU Pamekasan Mohammad Hamdani, dalam sambutannya mengatakan, kegiatan ini dipandegani divisi Sastra Lesbumi NU Pamekasan.

“Saya berharap teman-teman bisa menggali gagasan dari pemateri,” ujarnya.

Acara dipandu oleh Ketua Divisi Sastra Lesbumi NU Pamekasan Royyan. Dalam pembukaannya, Royyan menceritakan narasi tentang Senopati Ing Alaga yang bermimpi ia didatangi bintang yang menyatakan akan menjadi penguasa tanah Jawa.

“Kata penasihatnya, Juru Martani bilang jangan terburu dulu, kita harus memohon kepada Gusti Allah, saya akan ke Gunung Merapi dan Senopati berdoa di Pantai Selatan,” terangnya.

Senopati berdoa di Pantai Selatan, tiba-tiba gelombang air laut dan angin bergolak. Rupanya laut kidul dikuasai perempuan roh halus, Ratu Laut Kidul.

“Ratu Laut Kidul atau Nyai Roro Kidul memperlihatkan istana yang sangat bagus kepada Senopati,” ujarnya.

Pendek cerita mereka jatuh cinta hingga Senopati belajar tata negara hingga kontrak politik dengan perempuan penguasa laut Kidul itu.

Sehingga kata Royyan, selama ini Presiden Indonesia diduduki oleh orang Jawa.

“Mereka membawa ideologi kejawaan dan ideologi keibuan yang akan dijelaskan oleh Kak Aquarina,” terangnya.

Dalam mimbar budaya, Aquarina yang menyatakan diri sebagai anti feminisme, membicarakan mengenai kepemimpinan laki-laki Jawa.

Terutama di Indonesia, bahwa kekuasaan ternyata tak bisa dilihat sebagai sebuah kekuasaan formal semata.

Rina mencontohkan kekuasaan Presiden Soeharto yang 32 tahun memimpin Indonesia. Ternyata Soeharto sebagaimana Senopati Ing Alaga, sangat tergantung dengan istrinya yakni Tien Soeharto.

“Bu Tien dalam tradisi kepemimpinan Jawa adalah penyangga wangsit keprabon, jarang dipahami orang barat karena seringkali melihat kekuasan bersifat formal,” urainya.

Maka kata Rina, ketika Tien kemudian wafat, maka kemudian Soeharto kehilangan ruh dalam menjalankan kekuasaan formalnya.

Royyan sang moderator kemudian menanggapi bahwa ternyata negara adalah perpanjangan rumah tangga, perpanjangan urusan domestik, dalam ini kuasa seorang perempuan.

“Ada istilah patriarkal, dalam kekuasaan Jawa ketika pencalonan presiden, dicapture Cawapres Muhaimin Iskandar meminta restu kepada ibunya. Inilah salah satu kuasa wanita,” terang Rina.

Pernah ada suatu masa ketika era matriarki, kepemimpinannya selalu berkelompok.

Di era ini, menurut pakar politik salah satu kunci kemenangan Khofifah Indar Parawansa sebagai Gubernur Jatim adalah dari kelompok Muslimat NU.

“Pola kepemimpinan politik wanita dan pria, ternyata wanita lebih solid karena mengandalkan jaringan perempuan,” kata dia.

Sementara itu, Lora Moh. Afnan Rahmaturrahman selaku Ketua Yayasan Al Kautsar Pamekasan dan Pengurus Lesbumi NU Pamekasan mengatakan mimbar budaya ke 10 juga digelar di Ponpes Ini.

“Sebelumnya, Lesbumi NU Pamekasan mengundang Bapak Fahruddin Faiz, waktu itu digelar di halaman Ponpes ini,” urai Lora Afnan sapaan akrabnya. (kliktimes.com)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *