Sif 4 Cuci Darah Diberhentikan, RSUD Smart Pamekasan Singgung Hasil Penilaian BPJS

dr. Raden Budi Santoso, Direktur RSUD Smart Pamekasan.

PWI | PAMEKASAN – RSUD dr. H. Slamet Martodirdjo (Smart) Pamekasan menanggapi kebijakan BPJS Kesehatan terkait penghentian sif empat cuci darah, yang berlaku sejak 1 Mei 2025 kemarin.

Penghentian ini dikarenakan ketersediaan mesin hemodialisia dan jumlah tenaga kesehatan (Nakes) RSUD Smart Pamekasan tidak memenuhi standar.

dr. Raden Budi Santoso selaku Direktur RSUD Smart Pamekasan melalui Kepala Bidang Pelayanan Medik dr. Yosi Nugrahaini membenarkan hal itu.

“Benar bahwa BPJS melakukan penilaian terhadap pelayanan hemodialisa kami dan disimpulkan bahwa kurang standar jika kita mengadakan sif keempat,” ujarnya, Jumat (2/5/2025).

Dokter spesialis Patologi Anatomi itu juga menuturkan, saat ini ada 9 mesin hemodialisa yang dimiliki RSUD Smart. Delapan mesin hemodialisa untuk melayani pasien gagal ginjal regular dan satu mesin untuk pasien CITO (pasien yang kondisinya memerlukan tindakan medis segera atau mendesak).

“Jika diberlakukan tiga sif dalam sehari, artinya kami dapat melayani 24 pasien regular yang rutin cuci darah dan tiga pasien CITO dari layanan rawat inap,” tuturmya.

Jadi, imbuh dr. Yosi, total ada 27 pasien gagal ginjal yang dapat dilayani setiap harinya dengan durasi 6 jam tiap siklus cuci darah, dimulai pada pukul 07.00 hingga 01.00 dini hari.

“Kebijakan yang diberlakukan oleh BPJS itu mengacu pada peraturan Kementerian Kesehatan atas dasar pedoman yang telah ditetapkan Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri). Dikarenakan pasien gagal ginjal di Pamekasan cukup tinggi, baik pihak rumah sakit maupun BPJS memberikan tiga solusi,” jelasnya.

Pertama, lanjut dr. Yosi, dengan merujuk pasien ke unit hemodialisa rumah sakit lain yang masih kosong atau tersedia. Baik itu di wilayah Madura maupun di luar Madura jika penuh.

“Kedua, kami tawarkan kepada pasien untuk beralih menggunakan Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) yang nantinya akan dipandu oleh dokter spesialis dan perawat yang menangani,” tambahnya.

Namun, kata dr. Yosi, hingga saat ini masih belum ada pasien gagal ginjal di Madura yang menjadi role model penggunaan metode ini. “Tidak seperti di luar Madura yang pasien gagal ginjalnya sudah mulai menggunakan CAPD,” ujarnya.

Ketiga, rumah sakit harus merencanakan pembangunan gedung baru dan pengadaan mesin hemodialisa yang tentunya membutuhkan waktu, biaya, dan proses yang tidak singkat.

“Membangun gedung tidak hanya gedung saja namun beserta instalasi lainnya, perijinan dan semacamnya. jadi tiga solusi itu yang saat ini dapat kami berikan,” tutupnya. (zul/nam)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *