Oleh: Hairul Anam*)
Dalam beberapa hari terakhir ini, kasus perselingkuhan di Pamekasan menyentak perhatian publik. Pelakunya sama-sama pejabat; si lelaki mengemban amanah sebagai sekretaris desa (sekdes) dan si perempuan merupakan kepala urusan (kaur) kesejahteraan masyarakat (kesra) desa.
Keduanya diduga bermaksiat di rumah sekdes. Istri sah melabraknya. Keduanya tidak berkutik. Parahnya, perilaku bejat itu dilakukan di bulan suci Ramadan, Senin (8/4/2024). Muaranya, sang istri melaporkan tindakan asusila tersebut ke Markas Kepolisian Resor (Mapolres) Pamekasan, Kamis (11/4/2024).
Kasus tersebut langsung menyebar luas. Nyaris semua media massa di Madura memberitakannya. Bahkan, ada yang menjadikannya sebagai berita utama atau headline. Tampaknya akan menjadi dosa besar bagi seorang wartawan manakala tidak meliputnya.
“Itu aib. Agama mengajarkan agar kita menutup aib seseorang. Seharusnya tidak diberitakan. Mestinya cukup hukum positif dan hukum sosial yang bicara. Sekali lagi, tidak perlu diberitakan,” celetuk seorang influencer di akun media sosialnya.
Celetukan tersebut, tampaknya, disebabkan oleh wawasan kurang mendalam sang influencer tentang UU Pers dan kode etik profesi wartawan. Dia kurang memahami betapa etik universal profesi wartawan adalah kepentingan publik. Dia kurang menyadari bahwa salah satu fungsi pers adalah kontrol sosial.
“Pers nasional berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.” Begitu bunyi UU Pers Nomor 40/1999 pasal 3 ayat 1.
Meski begitu, penilaian sang influencer penting untuk tetap diperhatikan. Apalagi berkenaan dengan kasus asusila yang tergolong sensitif. Jika tidak hati-hati, wartawan bisa melabrak Undang-Undang Nomor 40/1999 tentang Pers.
Di dalam UU Pers telah ditegaskan, wartawan wajib memberitakan peristiwa atau opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa keadilan masyarakat. Karena itulah, asas praduga tak bersalah tetap penting dikedepankan.
Pers Sehat dalam Kasus Asusila
Setiap tindakan maupun kebijakan pejabat yang merugikan publik, wartawan wajib menyorotinya. Dari sinilah fungsi kontrol sosial bisa diketengahkan. Lantas, bagaimana dengan kasus oknum sekdes dan kaur kesra desa yang diduga berselingkuh, apakah tergolong merugikan publik? Hal tersebut akan diulas khusus di akhir tulisan ini.
Meskipun terdapat beberapa media massa di Madura yang cenderung melabrak UU Pers dalam kaitannya kasus di atas, kita cermati masih lebih dominan media massa yang tetap berpijak pada UU Pers. Contoh sederhananya ialah nama pelaku pakai inisial dan foto maupun videonya diblur saat ditayangkan.
Pada tahun 2010 ke bawah, kita mendapati pemberitaan pejabat mesum sarat dengan dramatisasi. Bahkan, dibumbui dengan proses tindakan mesumnya. Lengkap dengan kronologi dan bagaimana desahannya. Akibatnya, pembaca justru membayangkan saat pelaku bermesum ria. Ini justru memantik pikiran dan tindakan mesum bagi pembaca. Bukan melahirkan efek jera atau efek sanksi moral secara berkesinambungan.
Kini, pers tergolong makin sehat. Ketika ada peristiwa perselingkuhan, yang dikedepankan adalah seruan sanksi moral ketimbang kronologi saat perbuatan itu dilakukan. Di samping itu, penyajian beritanya tetap mengedepankan asas praduga tidak bersalah.
Apresiasi untuk Sekdes Selingkuh
Sepintas terlintas pemahaman bahwa tindakan oknum sekdes dan kaur kesra desa itu tidak merugikan publik. Keduanya melakukannya suka sama suka tidak di ruang publik, tapi di dalam rumah pribadi.
Secara etis, semua bermufakat itu melanggar etika sosial dan agama. Namun, apakah itu berdampak terhadap kehidupan tatanan sosial? Jawabannya adalah iya; dampak sosialnya tetap ada, publik tetap dirugikan.
Di mana letak kerugiannya? Kita urai terlebih dahulu tugas dari jabatan kedua pelaku.
Kita ketahui, sekdes mempunyai tanggung jawab untuk membantu kepala desa (kades) di bidang administrasi. Di samping itu, juga memberikan pelayanan teknis administrasi kepada seluruh perangkat pemerintah desa dan masyarakat.
Sementara itu, tugas kaur kesra adalah membantu kades untuk mempersiapkan bahan-bahan dalam perumusan kebijakan teknis penyusunan program keagamaan. Selain itu, juga melaksanakan program pemberdayaan masyarakat dan sosial kemasyarakatan.
Dari tugas tersebut sudah terang benderang, betapa keduanya bersentuhan langsung dengan pelayanan masyarakat. Pelayanan itu butuh kepercayaan. Bagaimana mungkin tugas berjalan baik bila kepercayaan masyarakat sudah luntur?; bagaimana mungkin program pemberdayaan masyarakat bisa terlaksana sesuai harapan bila pemangku jabatan telah bertindak asusila?
Setiap pejabat yang sudah kehilangan kepercayaan masyarakat, bisa dipastikan kinerjanya akan ambruk. Apalagi pemicu hilangnya kepercayaan itu adalah perselingkuhan. Di Madura yang kental dengan ajaran agama Islam, tindakan perselingkuhan nyaris tidak bisa termaafkan.
Dalam pada itu, sepatutnya kita tetap mengapresiasi sekdes selingkuh yang langsung mundur. Itu tindakan lelaki sejati. Terlepas dari kesalahannya, itu layak dicontoh oleh pejabat lainnya: jika melakukan tindakan yang mencederai hati nurani masyarakat, pilihannya hanya satu yaitu mundur dari jabatannya!
Kasus yang menimpa oknum sekdes dan kaur kesra desa, mesti menjadi alarm ke pejabat publik yang identik dengan pola hidup hedon, yang dalam batas tertentu, berkait erat dengan pemikiran sekaligus pengalaman erotis.
Kehidupan pejabat itu berirama dengan nafas publik. Ketika sudah tidak amanah, maka pers atau wartawan siap selalu tegak lurus mengontrolnya. Dan publik yang akan menghakiminya! (*)
*) Ketua PWI Pamekasan.