pwipamekasan.or.id | Saat menjadi pemateri focus group discussion (FGD) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Pamekasan, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan, Riset, dan Inovasi Daerah (Bapperida) Pamekasan Sigit Priyono menegaskan betapa defisit anggaran itu hal yang lumrah.
Penegasan tersebut diketengahkan usai Sigit Priyono mencermati tema yang diangkat panitia: “Mengurai Benang Merah Defisit APBD Kabupaten Pamekasan”. Dalam FGD yang dikonsentrasikan di Ruang Rato Ebhu Pendopo Ronggosukowati itu, Kamis (14/3/2024), Sigit Priyono memulai pemaparannya dengan membedah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia.
“Defisit itu bila belanja lebih besar dari pada pendapatan. Defisit APBN tahun 2024, saya lihat tembus Rp552 triliun. Tahun 2023, APBN kita defisit sekitar Rp340 triliun,” ungkapnya.
Sigit Priyono kemudian mengurai defisit APBD kabupaten/kota di Jawa Timur yang tergolong maju dan kaya. Sebut saja Banyuangi. Kabupaten yang namanya diperhitungkan saat ini, ternyata juga mengalami defisit.
Termasuk Pasuruan dan Malang, dari hasil penelusuran Sigit Priyono, juga mengalami defisit APBD. Dari 38 kabupaten/kota di Jawa Timur, terangnya, hampir 90 persen mengalami defisit.
“Kalau yang defisit itu hanya Pamekasan dari 38 kabupaten/kota, maka ini tidak lumrah. Tidak biasa. Tetapi karena 80 sampai 90 persen kabupaten/kota di Jawa Timur diterpa defisit, artinya di sini bukan sesuatu yang perlu ditakutkan,” ujarnya.
Yang perlu dipahami, terang pria kelahiran Banyuangi itu, defisit APBD bukanlah defisit anggaran rumah tangga.
“Tadi saya sempat diskusi dengan Mas Anam (Ketua PWI Pamekasan, red), kita mendiskusikan kebenaran absolut. Yang bahaya itu kalau defisitnya adalah defisit absolut. Nyatanya tidak demikian,” kata Sigit Priyono.
Selama defisit itu bisa ditutupi, semuanya akan baik-baik saja. Baru bila defisit tersebut tidak bisa ditutupi, jelas bermasalah. Sigit menyebut terdapat beberapa kabupaten di Indonesia yang defisitnya tidak bisa ditutupi.
“Sampang, ya?” celetuk peserta FGD.
“Bukan di Madura. Jauh di sana,” ujar Sigit yang disambut gelak tawa peserta FGD.
Dijelaskan, salah satu cara menutup defisit ialah melalui sisa lebih pembiayaan anggaran (SILPA). SILPA muncul karena adanya anggaran tahun sebelumnya yang lebih.
“Misalnya ada kegiatan-kegiatan yang dilelang Rp2 miliar. Pemenangnya hanya Rp1,5 miliar. Ada kelebihan Rp500 juta. Kelebihan ini disebut SILPA. Selain itu, bisa jadi karena situasi dan kondisi ada kegiatan yang tidak dilaksanakan, maka anggarannya langsung jadi SILPA,” terangnya.
Tantangan Bapperida Pamekasan
Dalam kesempatan itu, Sigit Priyono mengungkap salah satu tantangan yang dialami instansinya, yaitu perencanaan Pemkab Pamekasan ialah perencanaan satu tahun sebelumnya.
“Jadi untuk kegiatan 2024, di November kemarin sudah diproses sampai hari ini. Sampai nanti ditetapkan DPRD di sekitar November untuk rencana tahun 2025. Yang jadi masalah bagi kami, hari ini ialah dinamika masyarakat kita luar biasa,” katanya.
“Bisa jadi yang sudah kita rencanakan tahun ini, ketika mau dieksekusi sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat,” terangnya.
Sigit mencontohkan di Bapperida Pamekasan yang mencanangkan kegiatan FGD, yang temanya berkaitan dengan prioritas Kabupaten Pamekasan. Pesertanya sudah direncanakan mencakup wartawan, akademisi, dan aktivis. Tujuannya, guna mendapatkan sudut pandang membahas sesuatu.
“Kalau kita melihat kebutuhan masyarakat dari A sampai Z, semuanya ingin kita penuhi. Tapi karena keterbatasan anggaran, kita membuat skala prioritas. Itu adalah salah satu tugas Bapperida,” paparnya.
Sigit Priyono menginginkan FGD tersebut dilaksanakan Januari 2024. Tetapi, itu tidak memungkinkan ketika dihadapkan dengan regulasi.
“Beda dengan PWI. Ketika punya ide, langsung dieksekusi sekarang. Sehingga hari ini, saya kalah 1-0 ke PWI. PWI mengadakan FGD sudah tiga kali. Saya masih akan melakukannya karena masih menunggu perubahan Perbup, sehingga kalah cepat,” terangnya.
Tidak bisanya pemerintah bergerak cepat, salah satu faktornya adalah regulasi. Salah satunya terkait APBD.
“Ketika APBD sudah didok Rp2 triliun, misalnya, duitnya sudah ada. Jangan membayangkan begitu. Belum ada duitnya. APBD itu asumsi-asumsi; PAD-nya sekian, dana transfernya berapa, dana alokasi khususnya berapa, itu masih asumsi semua. Duitnya belum ada. Apalagi sekarang pemerintah pusat pintar: duitnya ditransfer sesuai progres kegiatan,” ungkapnya.
APBD Surplus Itu Baru Masalah
Defisit APBD itu hal biasa, baru tidak biasa bila justru surplus. Itu malah jadi bahan pertanyaan. Sebab, ada potensi uang yang tidak digunakan untuk menggerakkan perekonomian masyarakat.
“APBD Pamekasan hampir Rp2,1 triliun di 2024. APBD ini menjadi pendorong utama dalam menggerakkan perekonomian di kabupaten. Karena PAD kita masih kecil, investasi masih lemah. Saya masuk Pamekasan 1997, perkembangan ekonomi agak stagnan. Perkembangannya stagnan walaupun ada,” jelasnya.
“Mengapa? Karena perputaran duit kita di itu-itu saja. PAD kita kecil, sumber daya alam kita tidak punya, beda dengan Bojonegoro. Sementara investasi juga tidak ada,” tambahnya.
Dikatakan, tantangan ke depan, apa masalah mendasar terkait investasi di Pamekasan? Karena ketika berbicara pariwisata, misalnya, pariwisata di Pamekasan yang cukup ramai ialah pariwisata religi.
“Tetapi biasanya orang yang datang ke wisata religi ialah orang susah. Artinya tidak bawa uang banyak yang dibelanjakan di sekitar wisata,” paparnya.
Dalam kesempatan itu, Sigit Priyono mengapresiasi langkah PWI Pamekasan. Sebab, FGD diyakini dapat memberikan sumbangsih pemikiran ke Pemkab Pamekasan.
“Meskipun di ToR yang say abaca cukup ngeri redaksi bahasanya, tetapi esensi yang kita rasakan penuh muatan positif,” tukasnya. (*)